Kamis, 15 September 2016

[ Kaidah ] Jarh Wa Ta'dil

Asy-Syaikh Rabi hafizhahullah berkata di dalam Ta’liq kitab Haadil Arwaah karya Ibnul Qayyim rahimahullah kaset no. 2:

“Muhammad bin Jarir berkata: telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Al-Mukhtar, dari Ibnu Juraij, dari Atha’, dari Ka’ab bin Ujrah, dari Nabi shallallahu alaihi was sallam tentang firman Allah Ta’ala:

لِلَّذِيْنَ أَحْسَنُوْا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ.

“Bagi orang-orang yang berbuat baik ada balasan kebaikan (jannah) dan tambahan (melihat wajah Allah).” (QS. Yunus: 26)

Isnad ini padanya terdapat perawi yang bernama Ibnu Humaid yang diperbincangkan. Dia adalah Muhammad bin Humaid Ar-Raazy. Para ulama ahli hadits memperbincangkan keadaannya. Al-Imam Ahmad mentazkiyahnya, namun selain beliau ada pihak yang mengkritiknya, menilainya lemah dan sangat melemahkannya. Diantara yang menilainya lemah adalah Ibnu Khuzaimah rahimahullah. Beliau pernah ditanya: “Sesungguhnya Ahmad (bin Hanbal) menta’dil atau mentazkiyahnya.” Maka Ibnu Khuzaimah menjawab: “Seandainya Ahmad mengetahui seperti yang kami ketahui, tentu beliau tidak akan mentazkiyahnya.”

Ini adalah manhaj yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah dan Ahli Hadits. Yaitu bahwasanya siapa saja yang mengatahui maka dia merupakan hujjah atas orang yang tidak mengetahui. Juga bahwasanya jarh didahulukan atas ta’dil dan bahwasanya tidak ada aib dan kekurangan pada seorang imam yang mana saja yang dia mentazkiyah seseorang, lalu datang ulama lain yang semisal dengannya atau di bawahnya yang berdasarkan hujjah dan dalil menetapkan celaan pada orang yang ditazkiyah oleh imam tadi.

Tidak ada celaan dan dosa terhadap imam ini dan hal itu bukan sebagai bentuk penghinaan atau dikatakan bahwa dia orang yang menyimpang atau ucapan negatif lainnya.

Kenapa demikian?! Karena para ulama tersebut mereka berputar mengikuti ke mana hujjah dan dalil ada. Mereka tidak menginginkan kecuali kebenaran dan tidak menginginkan selain wajah Allah Azza wa Jalla. Mereka tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Tidak ada yang kemudian membantah dengan mengatakan: “Demi Allah, si fulan ini telah ditazkiyah oleh Ahmad. Jadi kenapa saya harus menjarhnya. Demi Allah, ini merupakan kesalahan.” Mereka tidak mengucapkan perkataan semacam ini, bahkan mereka berani dengan terang-terangan menampakkan kebenaran dan para ulama Ahlus Sunnah semuanya menerima dengan lapang dada dan tidak menganggap hal itu sebagai dosa atau kesalahan sama sekali.

Namun sekarang kita berada di masa yang banyak kegelapan dan kebodohan yang parah yang ahli bid’ah dan para pengekor hawa nasu telah melemparkan penilaian yang buruk terhadap manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Jadi Al-Imam Ahmad adalah imam Ahlus Sunnah. Namun tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa Ibnu Warih dan Ibnu Khuzaimah serta ulama lain yang menjarh Muhammad bin Humaid yang berbeda pendapat dengan beliau berarti mereka merendahkan Al-Imam Ahmad atau suka menyelisihi beliau.

Tidak ada yang mengatakan demikian, bahkan mereka semua menerima. Jadi engkau akan menjumpai murid-murid atau shahabat Ahmad dan Asy-Syafi’iy jika ada seseorang yang dipuji oleh Ahmad dan dijarh oleh ulama lain sementara hujjah ada pada selain beliau tersebut, mereka menerima jarh pihak yang memiliki hujjah.
Demikian juga murid-murid Asy-Syafi’iy. Ketika beliau mentazkiyah Ibrahim bin Abi Yahya namun ulama selain beliau menjarhnya, mereka pun menerima jarh ini dan tidak mengatakan: “Demi Allah, beliau adalah imam kami dan demi Allah kami akan fanatik membela pendapat beliau, karena beliau telah mentazkiyah si fulan. Dan dengan fanatik buta ini kami akan menetapkan kemuliaan orang yang dijarh ini dan akan kami bela dengan alasan bahwa imam kami adalah hujjah dan dalil.” Mereka sangat jauh dari mengucapkan perkataan semacam ini.

Demikianlah mereka terdidik di atas manhaj yang baik dan penuh berkah. Dan wajib untuk meninggalkan sikap fanatik kepada siapapun orangnya, kecuali Muhammad shallallahu alaihi was sallam karena beliaulah orang yang tidak boleh dikritik dan siapapun tidak boleh menyelisihi beliau. Karena Muhammad shallallahu alaihi was sallam selalu bersama kebenaran di mana pun kebenaran itu ada.

Demikian juga para shahabat Muhammad shallallahu alaihi was sallam selalu mengikuti kebenaran ke manapun kebenaran itu berada. Adapun selain mereka maka setiap orang bisa diambil dan bisa ditolak ucapannya.”
–selesai perkataan Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah–

http://simp.ly/publish/Skf45L

-----------------------

Copyright : 1437-2016 http:// salafykolaka.net

0 comments: